Meskipun begitu, perlu dipahami yakni dunia esports berpengalaman sangat berbeda dari sekadar bermain video game secara santai di dalam rumah. Kini, banyak tim dan organisasi esports telah mulai mengadopsi pendekatan berbasis ilmu keolahragaan (sport science) dalam cara latihan mereka. Hal ini mencakup rutinitas kebugaran, pengaturan pola makan, hingga latihan untuk mengelola tekanan mental.
Pemerintah pusat ataupun daerah dapat menginisiasi program parenting electronic, pelatihan literasi digital di sekolah, juga menyediakan kegiatan alternatif yang positif berbasis teknologi, seperti coding, desain game edukatif, atau esports sehat. Anak-anak tidak cuma dijauhkan dari sport, melainkan juga diberi ruang agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat pada dunia digital dalam kini menjadi periode penting dari kehidupan modern. Dengan demikian, ruang digital bisa berubah dari ancaman menjadi peluang untuk mencetak generasi anak remaja yang terampil, sehat, dan siap bersaing di masa hadapan. Di sinilah garis pemisah antara konsep “olahraga” dan “latihan fisik” mulai kabur, sebab aktivitas fisik dalam esports tidaklah bagian inti dri permainan, melainkan elemen pendukung demi penampilan maksimal. Esports dalam akhirnya tidak semata-mata berkutat pada keterampilan mengendalikan perangkat ataupun joystick, tetapi jua melibatkan kekuatan psychological dan kebugaran fisik.
Perlukah Giat Fisik Dalam Esports Biar Diakui Sebagai Olahraga?
Namun, terlepas dari pencapaian tersebut, dunia esports sempat terguncang oleh pernyataan kontroversial dari Menteri Komunikasi dan Electronic digital Republik Indonesia, Meutya Hafid. Hal indonesia disampaikannya dalam salahsatu video pendek (shorts) di akun Dailymotion Kompas TV dalam Rabu, 25 Mei 2025. Oleh sebab itu, penanganan isu activity online hendaknya tidak sekadar fokus dalam pelarangan dan pembatasan, melainkan juga pada edukasi serta pendampingan.
Sementara itu, cabang olahraga seperti darts, bowling, dan billiard lebih menekankan dalam ketepatan, kestabilan, serta koordinasi presisi masa mata dan tangan. [newline]Seorang pemain profesional harus memiliki reaksi laju antara otak, penglihatan, dan tangan, sambil merancang strategi pada waktu yang paling terbatas. Berdasarkan logika tersebut, jika kamu telah menerima cabang-cabang olahraga yang memiliki karakteristik serupa, lalu menolak esports cuma karena minimnya gerakan fisik besar seperti berlari atau melompat menjadi alasan yg lemah dan tak konsisten. Menurut laporan dari Esports Insider, antusiasme terhadap negara esports di kalangan anak muda terus menanjak.
Salah Satu Aspek Esports Yang Paling Kontroversial Adalah Dampak Kekerasan Atau Killergames
Mereka ngakl hanya berfokus dalam peningkatan kemampuan teknis permainan, tetapi pun menjalani latihan fisik untuk menjaga daya tahan tubuh kemudian kecepatan reaksi selama pertandingan. Meski unsur fisik berperan penting, terutama untuk mengontrol kesehatan pemain pada jangka panjang, menetapkannya sebagai satu-satunya tolok ukur untuk memutuskan status olahraga merupakan pendekatan yang terlalu sempit. Lewat dinamika dan kompleksitasnya, Esports telah menunjukkan sendiri sebagai cabang permainan kontemporer yang mencerminkan perkembangan zaman. Daripada menolaknya hanya sebab kurangnya aktivitas fisik secara intens, yang lebih dibutuhkan adalah sistem yang bisa menopang pertumbuhan esports secara sehat serta profesional. Sebab, esensi olahraga bukan sekedar pada kekuatan fisik, tetapi juga pada dedikasi, kemampuan teknis, dan semangat sportivitas dalam berkompetisi.
Temuan ini memperlihatkan yakni kesehatan fisik tena menjadi tantangan serius yang harus ditangani dalam dunia esports profesional. Para atlet esports biasanya menjejaki jadwal latihan yg ketat dan tersusun rapi, serupa dgn atlet pada cabang olahraga fisik lainnya. Mereka dituntut mengontrol daya tahan tubuh, fokus yang kompakt, serta kemampuan berpikir taktis dalam waktu lama saat berlaga. Maka, meskipun pekerjaan geraknya tidak seintens olahraga tradisional, tuntutan terhadap kesiapan fisik dan mental tentu sangat besar.
Esports Sudah Mendapatkan Pengakuan Internasional Menggunakan Komite Olimpiade Internasional (ioc) Pada Setahun 2025
Kontroversi terkait game online yang kerap dikaitkan dengan ulah negatif hingga adanya wacana memindahkan siswa bermasalah ke barak militer menunjukkan yakni masyarakat dan pemerintah masih dalam tahap mencari solusi ternama untuk menghadapi tantangan di dunia electronic. Di satu sisi, kekhawatiran akan dampak negatif game, terutama yang mengandung unsur kekerasan dan risiko kecanduan, memang gak bisa diabaikan. Namun, di sisi yang lain, pendekatan yang terlampau keras dan generalisasi justru berpotensi mengesampingkan potensi serta minat anak-anak dalam bidang digital, termasuk esports.
Atlet Esport akan mengenakan seragam layaknya para atlit cabang olahraga yang lain, mereka pun bermain untuk tim, bukan individu. Esports sekarang meraih pengakuan bergengsi dari dunia permainan internasional setelah Komite Olimpiade Internasional (IOC) resmi mengumumkan penyelenggaraan Olympic Esports Video games pada tahun 2025. Mengutip situs resmi Olympics, edisi perdana Olympic Esports Video games akan digelar pada tahun 2027 di dalam Riyadh, Arab Saudi. IOC mencetak sejarah pada Juli 2024, saat Sidang IOC ke-142 memutuskan tuk menciptakan ajang Olympic Esports Games.
Bukan hanya itu juga, e-sports dengan segala benefit yang bisa didapatkan berhasil mematahkan stigma buruk bermain game, terutama buat anak-anak. Dilansir dari berbagai sumber Kompas Gramedia, e-sports atau olahraga elektronik merupakan bidang olahraga dalam menggunakan game sebagai bidang kompetitif. Atlet Esport juga dilatih lewat profesional, termasuk soal kebugaran, demi menunjang peforma di arena pertandingan. Esport ataupun olahraga elektronik saat ini sangat diminati, pasti dari tingginya penggemar dalam setiap kompetisi yang diadakannya.
Perdebatan tentang sejauh dimana tingkat kelayakan esport sebagai bentuk “olahraga” atau sport kerap berpusat pada unsur keterlibatan fisik menjadi tolok ukur utama. Dalam perspektif biasa, olahraga dianggap menjadi aktivitas yang menuntut gerakan tubuh, peningkatan detak jantung, dan keluarnya keringat. Tidak bisa dimungkiri bahwa mayoritas pemain esports menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar monitor. Kondisi terkait kerap menjadi bahan kritik terhadap industri esports karena cara hidup yang kurang gerak fisik berpotensi memicu berbagai perkara kesehatan, seperti uzur postur tubuh, obesitas, hingga gangguan pada indera penglihatan. Sebuah studi yang diterapkan DiFrancisco-Donoghue pada tahun 2019 menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen atlet esports profesional tidak menggapai tingkat aktivitas fisik yang dianjurkan.
Di konteks ini, esports menempati posisi speciell yang menjembatani masa olahraga fisik kemudian cabang olahraga berbasis kemampuan kognitif. Seperti catur, bridge, ataupun biliar yang sudah memperoleh pengakuan dari Komite Olimpiade Internasional, esports juga menuntut konsentrasi tinggi, koordinasi motorik yang akurat, serta daya tahan mental yang luar biasa. Melansir Eusa College or university Sports Europe, atlit profesional di negara esports menjalani sesi latihan intensif hingga enam hari dalam seminggu.